Join The Community

Premium WordPress Themes

Sunday, December 25, 2011

Aku Bukan Pilihan

"Kenapa kamu berubah?" Tanyaku perlahan, masih menahan langkahnya.

"Aku tidak pernah berubah, kamu yang berubah! Egois!" Jawabnya begitu saja, ringan. Seakan-akan dia tak menggunakan otaknya untuk memikirkan ucapannya.

"Kamu tahu kan kalau aku sayang sama kamu?" Aku masih terus bertanya, aku ingin kepastian.

"Masa bodoh! Kamu sayang sama aku? Aku enggak peduli! Aku bosan dengan tingkahmu yang terlalu berlebihan itu! Kamu selalu menempatkan dirimu sebagai yang utama, kau kira kau paling sempurna? Pikirkan caramu, Bodoh!" Dia menghempaskan tanganku, aku hanya menunduk, terdiam.

Aku hanya menatapnya, tapi dia palingkan wajahnya, "Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang terus kamu sakiti?" Air mata tulus mengalir perlahan, menggenang di pelupuk mata, terjun bebas menuju pipiku. Aku benci kondisi seperti ini. Aku benci ketika aku tiba-tiba saja menangis meskipun aku telah berusaha untuk tetap terlihat kuat.

Dia menatapku dengan getir, tergesa-gesa merogoh-rogoh isi tasnya, selembar tissue kini ada ditangannya, "Aku hanya ingin melindungi perasaanmu, aku tahu aku bukan yang terbaik, aku tahu kau pernah disakiti mantanmu dengan  begitu dalam. Aku bukan wanita yang konsisten. Wanita-wanita disekitarmu yang lebih dulu kau kenal jauh lebih konsisten daripada aku. Kenapa kau masih menahanku?"

Isak tangis yang kutahan tetap tak mau kompromi pada keadaan, "Kemarin, aku berkata seperti itu karena kamu merancau terus, aku benci wanita yang selalu marah-marah dengan alasan yang tak jelas, terlalu childish! Aku marah sama kamu karena aku sayang sama kamu."

"Lalu? Kau mau apa? Harusnya kamu menyesal karena telah memilih aku! Kalau kau tahu ada wanita-wanita yang konsisten yang jauh lebih baik daripada aku, kejarlah! Biarkan aku pergi!" Ucapnya dengan nada tinggi, sambil sesekali menatap kekasih barunya dengan wajah khawatir.

Aku semakin frustasi dibuatnya, wanita memang selalu pandai memutar-mutar masalah hingga tak jelas lagi inti dari masalah tersebut. Aku menatapnya geram, dengan cepat kuulurkan tanganku, kuraih tubuhnya, kini dia rasakan lenganku menghangatkan tubuhnya, "Salahku, yang terlalu cepat mengambil keputusan. Salahku, yang mengenalmu dengan begitu instan. Menyatakan cinta dengan begitu cepat, padahal kita belum saling mengenal, belum saling tahu. Tapi, kenapa kau bisa begitu menyakitiku? Apakah yang instan selalu membawa kesedihan?"

Dia memang tak membalas pelukku, tapi dia mematung, aku tahu dia turut larut dalam hangatnya suasana kali itu, hanya pada saat itulah kami bisa berbicara dengan begitu dekat, dengan pelukan lekat, "Kalau sudah seperti ini, siapa yang pantas disalahkan? Tuhan? Ah, kau tahu Tuhan memang punya wewenang tertinggi dalam hidupmu dan hidupku, tak pantas kalau aku dan kamu menyalahkan Dia. Cintamu dan cintaku terlalu buta, kita membiarkan diri kita sendiri tertabrak oleh cinta dengan brutalnya. Lalu, cinta berwujud menjadi sesuatu yang dia suka dan kita terjebak! Kalau sudah seperti ini, bagaimana mau terlepas dari jeratannya?"

Sialan! Wanita yang awalnya kuanggap seperti anak kecil ini ternyata mampu membuatku menangis untuk kedua kalinya, "Tapi, sebodoh-bodohnya cinta, setolol-tololnya cinta, dia tetap terasa nyaman kan?"

"Iya, nyaman sekali, disatu sisi aku memang senang berada di dekatmu, di sisi yang lain aku tak mampu mengimbangi kesempurnaanmu. Ini jalan terbaik kan? Tidak membiarkan diriku dan dirimu tersiksa dalam suatu hubungan, aku tahu kau pun sebenarnya tersiksa." Jelasnya perlahan, sesekali kurasakan tangannya menyambut pelukku, lalu dia lepaskan lagi, takutkah dia pada kekasihnya?

Aku menarik nafas, menenangkan diri, sesakit inikah perpisahan? Aku pasti akan sangat merindukannya, "Berjanjilah padaku bahwa kau akan bahagia bersama pilihanmu, meskipun kebahagiaanmu tak lagi membutuhkan sosokku. Percuma mengharapkan kamu yang dulu kembali, kamu berubah menjadi seseorang yang tidak lagi kukenal. Aku memang bukan pilihan."

"Kamu yang memaksaku berubah."

"Jadi, sampai disini?"

"Ya, sampai disini."

"Kau tidak mau merasakan semur daging buatanku?"

"Tidak, lain kali mungkin."

"Aku akan merindukanmu."

"Begitu juga aku."

"Pergilah."

"Jaga dirimu baik-baik." Desahnya perlahan, kubiarkan tubuhnya lepas dari pelukanku. Dia melenggang santai menuju pria di sudut sana yang sejak tadi menunggunya. Dia mencium pipi pria itu dengan begitu mesranya, semesra kala dia mencium pipiku. Dia menggandeng pria itu dengan begitu hangatnya, sehangat dia menggendeng tanganku dulu.

Sementara aku masih mematung menatap kepergiannya, punggungnya telah berlalu, tangisku belum juga reda. Perpisahan memang kadang butuh air mata.

With love :)
Dwitasari
from http://dwitasarii.blogspot.com/

Yang Bodoh Aku, Yang Tolol Kamu, Atau Kita Sama-Sama Idiot?

“Aku hanya ingin diperlakukan seperti wanita.” Ucapku tegas sambil menyorot matanya.

“Memangnya, aku memperlakukanmu seperti waria?” Jawabnya singkat, mengundang emosiku naik satu tangga walau belum menuju puncak.

“Kamu ini bisa peka sedikit tidak? Percuma kamu punya perasaan kalau tidak dipakai dan digunakan!” Bentakku
menyentuh kasar gendang telinganya. Dia hanya tercengang, tak percaya aku bisa mengeluarkan suara sekencang itu.

“Jadi, aku harus gimana dong, Wanitaku?” Tanyanya dengan nada sedikit manja, uh aku tak tergoda! Kalau saja ada sebuah barang di tanganku, sudah kulemparkan ke wajahnya, hingga memar dan merah.

“Kok nanya? Pikir sendiri dong, Bodoh!” Jawabku sinis, aku masih memalingkan wajah, enggan menatapnya wajahnya yang datar dan seringkali tak berekspresi itu.

"Aku kurang apa?” Kembali dia bertanya, tanpa wajah berdosa.

“Astaga Tuhaaaaaaaaaan, kamu pengen buat aku mati di tempat, hah?!”

“Astaga Tuhaaaaaaaaaan, mahluk ciptaanMu yang satu ini kelewat sensi!”

“Kamu maunya diperhatiin tapi enggak mau memperhatikan, kamu maunya disayangi tapi jarang menyayangi, kamu maunya dipedulikan tapi jarang mempedulikan, kamu selalu menyalahkan tapi seringkali enggak mau disalahkan, kamu itu seringkali………….”

“STOP! Bisa enggak sih kamu enggak buat aku tambah capek, Tolol!” Bentaknya dengan nada tinggi, aku terdiam.
Seketika suasana menjadi hening, rambutku berantakan, dan bajunya yang acak-acakan, setiap kali ada pertengkaran, kami selalu terlihat menjijikan. Dia berjalan ke arahku, melayangkan tamparan hangat dipipiku, “Cewe manja kayak kamu harus tahu rasanya sakit. Kalau kamu kebiasaan nyakitin orang lain justru perasaan kamu yang lama-kelamaan akan mati. Kamu terlalu banyak ngeluh, kalau kamu mau seseorang yang kamu cintai berubah menjadi seseorang yang kamu mau, suruh robot aja, jangan suruh manusia!”

Aku hanya terdiam menatapnya, air mata perlahan menuruni kelopak mataku, mengalir begitu saja di pipiku, “Enggak pernah ada cowo yang memperlakukan aku seperti itu, Bodoh!”

“Itu masalahnya! Terlalu banyak cowo idiot yang kamu atur-atur hidupnya. Kamu bisa miliki hati seseorang, tapi kamu belum tentu miliki jalan hidupnya! Cobalah mengerti sudut pandangku, Sayang. Jangan gunakan keegoisanmu untuk mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tak baik untukmu. Ini bukan hanya masalahmu, tapi ini masalah kita, Sayang.” Ucapnya menenangkanku, dia gunakan tangannya yang lembut untuk menghapus air mataku.

“Tuhan selalu punya rencana tersendiri, buktinya kini aku jadi kekasihmu dan aku banyak belajar darimu.”
“Pikiranku bisa saja salah, tapi pikiran kita bisa saja benar, karena kita memikirkannya berdua, bukan sendiri-sendiri.” Ucapnya lembut sambil memasang senyum simpul dibibirnya. Tak pernah aku merasa setenang dan sehangat itu.


with love :)
Dwitasari

from http://dwitasarii.blogspot.com/